Halaman
Cerita pendek (cerpen) termasuk karya sastra yang cukup digemari remaja,
terutama sebagai sarana mengisi waktu dan memanfaatkan nilai-nilai etika, moral,
dan akhlak. Cerpen banyak dimuat di surat kabar, majalah, atau buku kumpulan
cerpen (antologi cerpen). Kita dapat menggali ajaran moral dan amanat yang
ada dan terkandung di dalamnya meskipun mungkin cerpen itu ditulis hanya
sekadar untuk menghibur atau memberikan kesenangan (estetis). Dalam bagian
ini, Anda akan mendengarkan pembacaan cerpen dan menggali nilai-nilai etika
dan moral yang ada di dalamnya.
Dengarkan pembacaan cerpen berikut baik-baik! Perhatikan peristiwa dan
perwatakan yang terdapat dalam cerpen ini!
10
B
A
B
KREATIVITAS
A. Membaca Cerita Pendek
Tujuan Pembelajaran
Pada subbab ini, Anda
akan menemukan nilai-
nilai dalam cerpen yang
dibacakan.
Setelah mempelajari
subbab ini, Anda
diharapkan dapat
menceritakan isi,
mengungkapkan hal-
hal menarik dalam
cerita pendek, dan
mendiskusikan nilai-nilai
yang terdapat dalamnya.
bp1.blogger.com
Gambar: Membaca cerpen.
132
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI Program IPA-IPS
Doc. Penulis.
Gambar: Kumpulan cerpen Senyum
Karyamin, karya Ahmad Tohari.
Senyum Karyamin
Oleh Ahmad Tohari
Mereka tertawa bersama-sama. Mereka, para
pengumpul batu itu, memang pandai begembira
dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.
Dan, Karyamin tidak ikut tertawa melainkan cukup
senyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama
sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum
bagi mereka adalah simbol licinnya tanjakan Pagi itu
senyum Karyamin menjadi tanda kemenangan atas
perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang
terkunang-kunang.
Memang Karyamin telah berhasil membangun
fatamorgana kemenangan dengan senyum dan
tawanya. Anehnya, Karyamin merasa terhina oleh
burung paruh udang yang bolak-balik melintas di
atas kepalanya. Suatu kali, Karyamin ingin membabat
burung itu dengan pikulannya. Akan tetapi, niatnya
itu diurungkan karena Karyamin sadar, dengan
mata yang berkunang-kunang dia tak akan berhasil
melaksanakan maksudnya.
Jadi, Karyamin hanya tersenyum, lalu bangkit
meski kepalanya pening dan langit seakan berputar.
Diambilnya keranjang dan pikulan, kemudian
Karyamin berjalan menaiki tanah licin yang berparut
bekas perosotan tubuhnya tadi. Di punggung tanjakan,
Karyamin terpaku sejenak melihat tumpukan batu
yang belum lagi mencapai seperempat kubik, tetapi
harus ditinggalkannya. Di bawah pohon waru, Saidah
sedang menggelar dagangannya, nasi pecel. Jakun
Karyamin turun naik, ususnya terasa terpilin.
“Masih pagi kok pulang, Min?” Tanya Saidah,
“Sakit?”
Karyamin menggeleng dan tersenyum. Saidah
memperhatikan bibirnya yang membiru dan kedua
telapak tangannya yang pucat. Setelah dekat, Saidah
mendengar suara keruyuk dari perut Karyamin.
“Makan, Min?”
“Tidak. Beri aku minum saja. Lenganmu sudah ciut
seperti itu. Aku tak ingin menambah utang.”
“Iya, Min, iya. Tetapi kamu lapar, kan?”
Karyamin hanya tersenyum sambil menerima
segelas air yang disodorkan oleh Saidah. Ada
kehangatan menyapu kerongkongan Karyamin terus
ke lambungnya.
“Makan, ya Min? Aku tak tahan melihat orang
lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu
tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya,
kan?”
Si paruh udang kembali melintas cepat dengan suara
menceret. Karyamin tak lagi membencinya karena
sadar, burung yang demikian sibuk pasti sedang
mencari makan buat anak-anaknya dalam sarang
entah di mana. Karyamin membayangkan anak-
anak si paruh udang sedang meringkuk lemah dalam
sarang yang dibangun dalam tanah di sebuah tebing
yang terlindung. Angin kembali bertiup. Daun-daun
jati beterbangan dan beberapa di antaranya jatuh
ke permukaan sungai. Daun-daun itu selalu saja
bergerak menentang arus karena dorongan angin.
“Jadi, kamu sungguh tak mau makan, Min?” Tanya
Saidah ketika melihat Karyamin bangkit.
“Iya Min, iya, tetapi ....”
Saidah memutus kata-katanya sendiri karena
Karyamin sudah berjalan menjauh. Tetapi, Saidah
masih sempat melihat Karyamin menolehkan
kepalanya sambil tersenyum, sambil menelan
ludah berulang-ulang. Ada yang mengganjal di
tenggorokan yang tak berhasil didorongnya ke
133
Bab 10
Kreativitas
Latihan 1
Latihan 2
dalam. Diperhatikannya Karyamin yang berjalan
melalui lorong liar sepanjang tepi sungai. Kawan-
kawan Karyamin menyeru-nyeru dengan segala
macam seloroh cabul. Tetapi, Karyamin hanya sekali
berhenti dan menoleh sambil melempar senyum.
Sebelum naik meninggalkan pelataran sungai, mata
Karyamin menangkap sesuatu yang bergerak pada
sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh,
si paruh udang. Punggung biru mengilap, dadanya
putih bersih, dan paruhnya merah saga. Tiba-
tiba burung itu menukik menyambar ikan kepala
timah sehingga air berkecipak. Dengan mangsa di
paruhnya, burung itu melesat melintas para pencari
batu, naik menghindari rumpun gelangan dan
lenyap di balik gerumbul pandan. Ada rasa iri di
hati Karyamin terhadap si paruh udang. Tetapi, dia
hanya tersenyum sambil melihat dua keranjangnya
yang kosong.
Sesungguhnya Karyamin tidak tahu betul mengapa
dia harus pulang. Di rumahnya tak ada sesuatu buat
mengusir suara keruyuk dari lambungnya. Istrinya
juga tak perlu dikhawatirkan. Oh, ya, Karyamin
ingat bahwa istrinya memang layak dijadikan alasan
buat pulang. Semalaman tadi istrinya tak bisa tidur
lantaran bisul di puncak pantatnya. “Oleh karena itu,
apa salahnya bila aku pulang buat menamani istriku
yang meriang.”
Karyamin mencoba berjalan lebih cepat meskipun
kadang secara tiba-tiba banyak kunang-kunang
menyerbu ke dalam rongga matanya. Setelah melintasi
titian, Karyamin melihat sebutir buah jambu yang
masak. Dia ingin memungutnya, tetapi urung karena
pada buah itu terlihat bekas gigitan kampret. Dilihatnya
juga buah salak berceceran di tanah di sekitar
pohonnya. Karyamin memungut sebuah, digigit, lalu
dilemparkannya jauh-jauh. Lidahnya seakan terkena
air tuba oleh rasa buah salak yang masih mentah. Dan
Karyamin terus berjalan. Telinganya mendenging
ketika Karyamin harus menempuh sebuah tanjakan.
Tetapi tak mengapa, karena di balik tanjakan itulah
rumahnya.
(Sumber: Kumpulan Cerpen Senyum Karyamin,
Karya Ahmad Tohari, Oktober 1995)
1. Datalah nama-nama tokoh yang terdapat
dalam cerpen “Senyum Karyamin!”
2. Identifikasilah karakter tokoh cerpen
tersebut!
3. Jelaskan latar dalam cerpen tersebut, tunjukkan
data pendukungnya!
4. Diskusikanlah kon
fl
ik dalam cerpen tersebut
dengan teman sekelompok/sekelas Anda!
Mendiskusikan nilai-nilai dalam Cerpen
Adakah pelajaran atau nilai yang berharga yang
dapat dipetik dari cerpen yang baru saja Anda
dengar atau baca itu? Nilai-nilai apa saja yang
Anda peroleh dari pembacaan cerpen tersebut?
Coba diskusikan hal-hal berikut.
1. Kesetiakawanan sosial
Bahwa orang hidup itu
......................................................................
......................................................................
......................................................................
......................................................................
2. Kesederhanaan hidup
Bahwa orang hidup itu
......................................................................
......................................................................
......................................................................
......................................................................
3. Penerimaan nasib
Bahwa orang hidup itu
......................................................................
......................................................................
......................................................................
......................................................................
134
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI Program IPA-IPS
Pada pelajaran ini Anda akan diajak untuk membandingkan penggalan hikayat
dengan penggalan novel. Sebelumnya, bacalah dengan cermat penggalan novel
dan hikayat berikut ini, agar Anda dapat membedakan dan mengenali karya
sastra tersebut.
Latihan 3
Latihan 4
Latihan 5
Memberikan kritik atau komentar terhadap isi
cerpen
Untuk memberikan kritik atau komentar terhadap isi
cerpen “Senyum Karyamin”, baik kelebihan maupun
kelemahannya, lakukanlah hal-hal berikut:
1. Bacalah kembali cerpen “Senyum Karyamin”
secara utuh!
2. Buatlah pokok-pokok ceritanya: alur,
penokohan, latar, dan nilai-nilai dalam
cerpen!
3. Ceritakan kembali isi cerpen tersebut di depan
kelas (upayakan tanpa membawa catatan)!
Mengaitkan isi cerpen dengan kehidupan sehari-
hari
1. Pernahkah Anda mengalami kejadian atau
peristiwa seperti yang diceritakan dalam cerpen
“Senyum Karyamin?”
2. Pernahkah teman Anda mengalami sebagian
atau seluruh peristiwa dalam cerpen “Senyum
Karyamin?”
3. Adakah watak teman orang di sekitar Anda
yang wataknya mirip dengan watak tokoh
dalam cerpen tersebut?
4. Buatlah satu—dua paragraf yang mengulas
kaitan cerpen tersebut dengan kehidupan
sehari-hari! Untuk itu, manfaatkan jawaban
Anda atas pertanyaan-pertanyaan di atas!
Mengembangkan kreativitas berdasarkan cerpen
yang dibaca
1. Apakah Anda laki-laki, bayangkanlah diri Anda
menjadi Karyamin! Setelah mengalami peristiwa
seperti diceritakan dalam cerpen tersebut,
buatlah catatan harian untuk mengungkapkan
perasaan Anda!
2. Apakah Anda perempuan, bayangkanlah diri
Anda menjadi Saidah penjual nasi! Setelah
mengalami peristiwa dan kejadian seperti
diceritakan dalam cerpen tersebut, buatlah
catatan harian untuk mengungkapkan perasaan
Anda!
3. Bacakan catatan harian yang telah Anda buat
di depan kelas!
4. Tuliskan kembali catatan harian Anda
itu menjadi sebuah karangan yang utuh
berdasarkan imajinasi dan kreativitas Anda!
B. Membandingkan Penggalan Hikayat dengan Penggalan Novel
Tujuan Pembelajaran
Pada subbab ini, Anda akan
membandingkan unsur
intrinsik dan ekstrinsik
novel Indonesia/terjemahan
dengan hikayat. Setelah
mempelajari subbab ini,
Anda diharapkan dapat
menentukan tokoh, latar,
tema, motif dalam hikayat,
mengidenti
fi
kasikan dan
menghubungkan nilai yang
terdapat dalam hikayat.
135
Bab 10
Kreativitas
a. Novel
Satu
Hari itu aku dinas pagi, artinya mulai bertugas pukul
06.00. Aku masih ikut pamanku di Jalan Jawa nomor
73, di daerah Menteng. Di sana aku berbagi kamar
besar yang memanjang dengan Pak Muh, adik ibuku
yang lebih muda dari pamanku Iman Sudjahri, dan
kakakku Teguh. Ruangan yang menyerupai sebuah
bangsal itu dibagi dua. Empat lemari tinggi dan tebal
digunakan sebagai penyekat antara bagian depan
tempat Pak Muh dan Teguh, dan bagian belakang
untukku. Dalam beberapa hal aku lebih beruntung
dari mereka, karena aku mendapat sebuah ranjang
kero; dan lebih-lebih wastafel juga berada di pihakku
beserta pintu yang menuju ke halaman belakang,
Sehingga di waktu aku dinas malam atau pagi, aku
bisa cuci muka tanpa keluar dari kamar.
Penggunaan lemari adil, karena yang dua menghadap
ke depan, dua lainnya ke belakang. Yang menghadap
ke tempatku hanya satu yang kosong, namun itu
sudah amat mencukupi bagiku. Lemari satunya
berisi pakaian dan aksesori milik bibi kami yang
tinggal di Palembang*. Paman Iman Sudjahri
mempunyai dua kunci lemari. Maka dia memberikan
salah satunya kepadaku. Sekali-sekali, kain batik,
kebaya, selendang, tas dan selop harus diangin-
anginkan keluar di serambi dan halaman belakang.
Di saat itulah aku selalu mengagumi benda-benda
indah kepunyaan bibiku. Kain-kain batiknya semua
tulis tangan, bercorak klasik serta diwiru dan dilipat
rapi. Bahan kebaya terbuat dari voal lembut, sutera
halus atau brokat. Semuanya berwarna-warni indah.
Tas dan selop pun merupakan barang-barang pilihan.
Bibiku sungguh mempunyai cita rasa yang tinggi
Di waktu membenahi kembali kekayaan tersebut,
aku harus mengganti atau menambahkan akar wangi
dan ratus ke dalam lemari supaya semuanya berbau
sedap harum.
Walaupun aku krasan dan merasa nyaman tinggal
bersama keluarga Paman, aku tetap mencatatkan
diri antre untuk mendapatkan tempat di beberapa
pondokan. Sebabnya ialah aku ingin mandiri
dan bebas sesuai keinginanku. Apalagi jika dapat
mondok bersama beberapa rekan sekerja. Hal itu
bisa memudahkan penjemputan, saling mengingatkan
waktu dinas atau saling bertukar jadwal. Aku tidak
suka terus-menerus berlindung di bawah sayap adik
ibuku itu. Lain halnya dengan Teguh, karena dia masih
sekolah. Sedangkan aku sudah menerima gaji.
Pegawai stasiun udara harus selalu siap dijemput
satu setengah jam sebelum waktu bertugas. Untuk
dinas pukul 06.00 aku harus siap dijemput pukul
04.30. Tergantung pada hari dan bulannya, jam itu
merupakan saat yang nyaris pas aku selesai gosok gigi
dan cuci muka. Setiap bulan aku berpuasa lebih dari
lima belas hari: setiap Senin dan Kamis ditambah hari
atau tanggal weton atau kelahiran orang-orang tertentu
yang kusayangi. Itu belum terhitung wetonku sendiri,
yaitu Minggu Kliwon. Jika aku tidak mengetahui
hari pasaran kelahiran saudara atau teman yang
kusayangi, biasanya kuambil taggalnya saja. Di masa
itu ada beberapa teman dan saudara yang selalu aku
puasakan. Kusebut beberapa saja di sini, misalnya
ibuku, pamanku Iman Sudjahri dan pamanku Sarosa*,
uwakku yang tinggal di Magelang suami-istri. Mereka
ini adalah orang tua sepupuku Yu Mur. Dan sepupuku
inmi juga termasuk dalam daftarku. Demikian pula dua
bekas teman di SMA, Niniek dan Nuning. Kebiasaan
berpuasa ini terbawa terus hingga sekarang, dengan
lingkungan dan orang-orang yang berbeda.
Selama aku bekerja pada GIA, belum pernah aku
dijemput dalam keadaan belum siap. Namun sering
kali aku berangkat dengan sepatu berhak pendek.
Sedangkan sepatu bertumit tinggi kubawa di tas
terpisah.
Di waktu itu, untuk penjemputan dan pengantaran
karyawan-karyawati, GIA mengoperasikan pick-
up-pinck-up yang sudah tua dan lusuh. Combi
Volkswagen hanya diperuntukkan awak pesawat
serta karyawan yang bersangkutan erat dengan
pesawat. Dari perbedaan perlakuan itu kami pegawai
stasiun udara melihat betapa direksi meremehkan
Kemayoran
Nh. Dini
136
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI Program IPA-IPS
kami. Meskipun diam, kami menyekap rasa iri yang
hampir menjadi dendam kepada orang-orang yang
berkedudukan di Kantor Pusat, para pengambil
keputusan itu.
Di saat menunggu jemputan, ketika aku masih tinggal
bersama keluarga Paman, aku keluar dari pintu
samping. Setelah menguncinya kembali, aku duduk
di serambi depan, di tempat yang agak terlindung
dari jalan. Ketika pick-up datang, sopir menekan gas
dua atau tiga kali. Biasanya aku sudah melihat jika
kendaraan mendekat, sehingga pengemudi tidak perlu
membuat kegaduhan dengan mesin mobilnya.
Untuk naik ke bagian belakang kendaraan dengan
rok ketat tidaklah mudah. Apalagi jika ditambah
kelengkapan seragam yang berupa sepatu bertumit
tinggi. Tempat duduk di samping sopir biasanya
sudah terisi pegawai lain yang dijemput lebih dulu. Di
sana bisa memuat dua pegawai dan sopir. Seringkali
karyawan yang sudah nyaman duduk di sana diam
saja, tidak turun untuk memberikan tempatnya
kepada kami para ground hostess. Sesungguhnya
jika mereka bersikap murah hati, kami pun tentu
amat menghargai mereka. Setidak-tidaknya kami
merasa senang karena mereka menaruh simpati dan
turut prihatin, menghindarkan kami dari panjat-
memanjat di belakang pick-up. Pernah beberapa
teman memberanikan diri, dengan sopan meminta
pria-pria itu pindah duduk di be;akang. Tapi orang-
orang itu menjawab seenaknya, bahwa karena mereka
dijemput lebih dulu, maka tempat duduk di depan itu
hak mereka. Jarang ada pegawai lelaki yang bersifat
dermawan, sukarela mengalah lalu turun memberikan
tempatnya di samping pengemudi kepada kami.
Su sendiri tidak pernah meminta. Sakit hatiku tidak
akan terobati jika ditolak. Karena Jalan Jawa terletak
di tengah kota, aku sudah tahu, pasti dijemput
setelah kendaraan pergi ke Kebayoran atau pinggiran
searahnya.
Pada mulanya aku memang merasa terhina dan
merana karena harus bersusah-payah memanjat bagian
belakang pick-up yang tinggi itu. Rasa terhina itu
lebih-lebih disebabkan rok ketat dan sepatu bertumit
tinggi yang mencerminkan kefeminiman seratus
persen, dan yang amat kontras bertolak belakang
dengan tingkah petakilan panjat-memanjat. Semua
itu jauh dari keanggunan maupun kesportifan.
Tetapi manusia adalah makhluk yang terkenal
paling pandai menyesuaikan diri. Setelah beberapa
kali harus berbuat yang sama, kami para ground
bostess Stasiun Udara Kemayoran yang berbaju
ketat dan bersepatu tinggi segera beradaptasi dengan
kendaraan antar-jemput perusahaan penerbangan
nasional satu-satunya di masa itu dan yang sangat
dibanggakan oleh bangsa dan negara. Teknik yang
pasti ialah rok harus ditarik agak naik hingga
tersingkap. Lalu satu kaki diangkat melangkah
ke atas bumper kendaraan belakang sebelah kiri,
sementara tangan berpegang pada salah satu tiang
penyangga terpal. Kemudian, dengan gerakan
gesit badan diangkat. Secepat itu pula kaki lainnya
menapak di lantai kendaraan yang sebetulnya
adalah tutup pick-up tapi terbuka digantungkan
pada rantainya. Dalam hal menyingkap bawah rok,
aku tidak pernah merasa ragu ataupun malu, karena
panjang celana dalamku nyaris mendekati lututku.
Aku sudah biasa mengenakannya, dimulai ketika
aku harus bersekolah mengendarai sepeda almarhum
ayahku*.
Pagi itu kulihat Atul turun dari depan, pindah duduk
bersamaku di belakang.
“Selamat pagi,” kataku kepada semua yang telah ada
di bangku belakang pick-up. Aku selalu memberikan
salam meskipun kerap kali tidak menerima jawaban.
Sambil mencari tempat duduk, aku berbicara kepada
temanku Atul, “Sebetulnya kau tetap duduk di depan
saja. Aku tidak apa-apa sendirian perempuan di
belakang.”
Kugelar lembaran surat kabar yang kubawa, lalu
duduk di atasnya. Selalu kuragukan kebersihan
bangku-bangku kendaraan perusahaan itu.
Temanku menyahut, ”Aku tak apa-apa pindah. Biar
lelaki yang duduk di depan mengetahui bahwa kita
solider sesama teman wanita. Kalau dia sopan,
kan seharusnya dia turun memberikan tempatnya
kepadamu.”
“Tapi dia tidak sopan dan tidak peduli,” ganti aku
menyahutinya dengan suara biasa tanpa kurendahkan
137
Bab 10
Kreativitas
sehingga orang-orang lain bisa mendengar. Kami
berdua terkikih bersama-sama, disambut satu atau
dua komentar yang diucapkan pegawai pria kenalan
kami. Mereka dari Bagian Muatan dan Mesin di
Kemayoran.
Atul berkata lagi, “Malahan enak duduk di sini.
Segar.” Dia berhenti sebentar, lalu menyambung,
“Sopirnya bau!”
“Tentu dia dinas semalaman. Tidak mandi tidak
ganti baju,” orang dari Muatan memberikan
pendapatnya.
“Tidak mandi kalau bau badan biasa-biasa saja tidak
akan seperti itu!” Atul menambahkan.
Aku berbisik khawatir, “Sudah! Jangan diterus-
teruskan! Kalau ada yang menyampaikan kata-
katamu, dia bakal sentimen kepadamu! Jangan-
jangan lain kali kamu tidak dijemput.”
Atul menurut, tidak berbicara lagi. Konon memang
sudah terjadi sopir menyatroni karyawan-karyawati.
Harus berbaik-baik dengan pengemudi. Karena jika
kita menyinggung perasaan mereka, mereka bisa
pura-pura sudah menjemput padahal kita ditinggal
begitu saja. Mereka tidak kekuarangan akal untuk
membalas dendam. Sebaliknya, jika berbaik-baik
dan tahu mengambil hati para sopir, konon bisa
kencan diambil lebih awal lalu diajari menyetir
kendaraan di jalan-jalan yang sepi.
Dua atau tiga kalimat masih terdengar, namun
temanku tidak menanggapi lagi. Secara umum,
mengenai pandangan hidup atau pekerjaan, Atul dan
aku mempunyai persamaan pendapat. Sejak ujian
masuk, diteruskan dengan masa pendidikan ground
hosstess, aku sering satu regu dengan Ambarwati ,
Hendar, Ana, dan Atul. Yang pertama kupanggil Yu
Wati, tinggal bersama keluarga pamannya di Jalan
Madura, tidak sampai seratus meter jaraknya dari
rumah pamanku. Ketika kami negikuti pendidikan,
setiap hari kami bersama-sama berangkat dan pulang.
Sepeda merupakanb kendaraan kami yang pasti.
Di waktu hujan, kami patungan naik beca. Karena
mengenalku di lingkungan keluarga juga, maka dia
memanggilku Dik Puk*. Aku dan Atul dulu pernah
satu sekolah di Semarang ketika kami masih kecil.
Orang tuanya pindah ke Bandung dan dia besar
di kota itu. Oleh karenanya, dia berbahasa Sunda
dengan baik sekali. Atul juga memanggilku Puk untuk
menandakan bahwa rasa kedekatannya denganku
tidak pernah hilang.
“Siapa lagi yang dinas pagi?” tanyaku.
“Hendar,” Atul menjawab. “Di daftar jemputan tadi
kubaca di bawah namamu ada nama orang bagian
mesin beralamat Rawamangun. Barangkali Hendar
akan dijemput sesudah itu.”
“Kecuali jika dia dijemput dengan kendaraan
jurusan Jatinegara,” aku menanggapi kawanku. Lalu
kuteruskan, “Yu Wati?”
***
Latihan 6
Telah/analisislah komponen kesastraan (pelaku
dan perwatakan, plot dan kon
fl
ik, latar, tema, dan
pesan/amanat) penggalan novel “Kemayoran” di
atas! Tulis dalam format seperti berikut ini.
Analisis Komponen Kesastraan
Novel “Kemayoran” Karya NH. Dini
Komponen yang ditelaah
Hasil/Telaah analisis
Tema
Pelaku dan Perwatakan
Plot dan Kon
fl
ik
Latar
Sudut Pandang Pengarang
Pesan/Amanat
2. Apa kira-kira relevansi tema novel tersebut jika
dihubungkan dengan kehidupan saat ini?
3. Ceritakan kembali isi penggalan cerpen itu di
depan kelas dengan kata-kata Anda sendiri!
138
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI Program IPA-IPS
b. Hikayat
Bacalah penggalan hikayat Si Miskin berikut ini!
Hikayat Si Miskin
Karena kutukan Batara Indra, raja keindraan beserta
istrinya jatuh m,iskin melarat, dan terlunta-lunta
di kerajaan Antah Berantah yang diperintah oleh
Maharaja Indra Dewa. Setiap hari si Miskin mencari
bekas-bekas makanan yang sudsah dibuang orang di
tempat-tempat sampah. Apabila penduduk melihat
beramai-ramai mereka menghina, mengusir, dan
memukul si Miskin suami istri sehingga luka-luka
badannya. Sedih hati si miskin sepanjang hari dan
tidak berani masuk kampung karena takut dipukul
atau dilempari dengan batu. Diambilnya daun-daun
muda untuk dimakan dan untuk pengobat luka di
tubuhnya. Demikianlah pengalaman dan penderitaan
mereka sepanjang hari.
Ketika istrinya mengandung tiga bulan, istrinya
mengidamkan buah mempelam (sejenis mangga)
yang timbuh di halaman istana raja. Dimintanya agar
suaminya atau si Miskin meminta buah mempelam itu
kepada raja. Mendekat kampung saja suaminya tidak
berani, apalagi hendak menghadap raja minta buah
mempelam itu. Dengan sedih dan meratap istrinya
memohon supaya suaminya mau meminta mempelam
raja itu. Karena kasihan kepada istrinya dicoba si
Miskin meminta mempelam itu.
Tiada disangka-sangka raja sangat bermurah hati dan
memberikan mempelam yang diminta si Miskin itu.
Buah lain seperti nangka pun, ia diberi raja. Penduduk
kampung yang melihatnya jatuh kasihan dan bermurah
hati memberi si miskin kue dan juadah (kue basah).
Mungkin berkat tuah anak yang dikandung istrinya
juga hal yang demikian itu terjadi.
Pada hari baik setelah cukup bulannya, isteri si Miskin
melahirkan seorang putera yang sangat elok parasnya.
Anak itu diberi nama Marakarmah yang artinya anak
dalam penderitaan.
Ketika si Miskin menggali tanah untuk memancangkan
tiang atap tempat berteduh, tergali olehnya taju (topi
mahkota) yang penuh berhias emas. Dengan kehendak
yang mahakuasa, terjadilah sebuah kerajaan lengkap
dengan alat, pegawai, pengawal, dan sebagainya
di tempat itu. Si Miskin menjadi rajanya dengan
nama Maharaja Indra Angkasa dan istrinya menjadi
permaisuri dengan nama Ratna Dewi. Kerajaan itu
mereka namakan Puspa Sari. Kerjaan Puspa Sari
terkenal ke mana-mana. Pemerintahannya baik,
rakyatnya aman, damai makmur, dan sentosa. Tiada
lama kemudian lahirlah pula badik Marakarmah
yang diberi nama Nila Kesuma. Bertambah masyhur
kerajaan Puspa Sari dan beretambah pula irihati
maharaja Antah Berantah.
Kemudian tersebar kabar, bahwa Maharaja Indra
Angkasa mencari ahli nujum untuk mengetahui
peruntungan kedua anaknya kelak. Kesempatan
ini dipergunakan Maharaja Indra Dewa. Semua
ahli nujum dikumpulkannya dan dihasutnya
supaya mengatakan kepada Indra Angkasa bahwa
Marakarmah dan Nila Kesuma akan mendatangkan
malapetaka dan akan menghancurkan kerajaan Puspa
Sari. Semua ahli nujum mengatakan seperti yang
dihasutkan oleh Maharaja Indra Dewa. Mendengar
kata-kata ahli nujum itu sangatlah murkan Maharaja
Indra Angkasa; Marakarmah dan adiknya hendak
dibunuhnya. Permaisuri Ratna Dewi menangis
tersedu-sedu, memelas dan memohon kepada
suaminya supaya kedua anaknya jangan dibunuh. Ia
tak tahan hati melihat kedua anaknya diperlakukan
demikian. Dimohonnya kepada suaminya supaya
dibiarkan saja ke mana perginya mnereka.
Sambil disepak dan diterjang peregilah kedua anak
itu mengembara tanpa tujuan. Sesaat setelah mereka
pergi. Kerajaan Puspa Sari terbakar habis, semuanya
musnah
Sampai di kaki bukit, berteduhlah Marakarmah
dengan adiknya, Nila Kesuma. Di bawah sebatang
pohon dalam keadaan lapar. Tertangkaplah oleh
Marakarmah seekor burung yang sedang hinggap di
dekatnya. Karena lapar mereka hendak memasaknya
lebih dahulu. Datanglah mereka ke pondok seorang
petani hendak minta api untuk membakar burung itu.
Tiba-tiba mereka ditangkap petani karena dituduh
hendak mencuri. Keduanya dilemparkan ke laut
139
Bab 10
Kreativitas
dan diterjang ombak ke sana kemari. Nila Kesuma
akhirnya terdampar di pantai dan ditemukan oleh
Raja Mangindra Sari, putra mahkota kerajaan
Palinggam Cahaya. Nila Kesuma dibawa ke istana
kemudian dipersunting Raja Mangindra Sari,
menjadi permaisurinya dengan gelar Putri Mayang
Mangurai.
Marakarmah dibawa arus laut dan terdampar di
pangkalan (tempat mandi di pantai) Nenek Gergasi
(raksasa tua), diambil dan dimasukkan dalam
kurungan di rumahnya. Kebetulan di situ juga telah
dikurung Putri Raja Cina bernama Chaya Khairani
yang tertangkap lebih dahulu. Mereka ini akan
dijadikan santapan Sang Gergasi.
Sebuah kapal besar menghampiri perahu mereka
dan mereka ditangkap lalu dimasukkan ke kapal.
Nakhoda kapal jatuh cinta kepada Cahaya Khairani.
Cahaya khairani dipaksa masuk ke kamar nakhoda
dan Malakermah dilemparkan ke laut. Klapal
meneruskan pelayarannya.
Dalam keadaan terapung-apung, setelah kapal
berlayar jauh. Marakarmah ditelan seekor ikan
nun (ikan yang sangat besar). Ikan itu terdampar
di pangkalan. Nenek Kebayan. Seekor burung
rajawali terbang di atas pondok Nenek Kebayan
dan memberitahukan supaya perut ikan nun yang
terdampar di pantai itu ditoreh (dibuka) hati-hati,
karena di dalamnya ada seorang anak raja. Petunjuk
burung itu diikuti Nenek Kebayan dan setelah
perut ikan nun ditoreh. Keluarlah Marakarmah dari
dalamnya. Mereka sama-sama senang dan gembira.
Lebih-lebih nenek Kebayan yang mendapatkan
seorang putra yang baik budi. Marakarmah tinggal
di rumah Nenek Kebayan dan sehari-hari turut
membantu membuat karangan bunga untuk dijual
dan dikirim ke negeri lain. Dari cerita Nenek Kebayan
tahulah Marakarmah, bahwa permaisuri kerajaan
tempat tinggal mereka bernmama Mayang Mangurai
yang tidak lain daripada seorang putri yang dibuang
ke laut oleh seorang petani ketika hendak mencari api
untuk membakar seekor burung bersama kakaknya.
Yakinlah Marakarmah bahwa putri itu sesungguhnya
adiknya sendiri.
Kebetulan Cahaya Kahairani maupun Mayang
Mangurai sangat menyukai karangan bunga Nenek
Kebayan yang sebenarnya Marakarmahlah yang
merangkainya. Pada suatu ketika dicantumkannyua
karangan bunga itu. Dari nama itu Cahaya Khairani
dan Niola Kesuma mengetahui bahwa Marakarmah
masih hidup. Bertambah dalam cinta Cahaya Khairani
kepada kekasihnya. Demikian juga Nila Kesuma
bersama suaminya, berkemauan keras untuk segera
mencari kakaknya, Marakarmah, ke rumah Nenek
Kebayan itu.
Betapa gembira mereka atas pertemuan itu tak dapat
dibayangkan. Dengan mudah pula Marakarmah
bersama iparnya, Raja Palinggam Cahaya, dapat
menemukan tempat cahaya Khairani disembunyikan
oleh nakhoda kapal. Setelah Cahaya Khairani
ditemukan, dan ternyata ia belum ternoda oleh sang
nakhoda, maka dilangsungkanlah acara pernikahan
antara Marakarmah dengan Cahaya Khairani, dan
nakhoda yang menggida Cahaya Khairani dibunuh
di Kerajaan Palinggam Cahaya.
Marakarmah bersama Cahaya Khairani kemudian
pergi ke tempat ayah-bundanya yang telah jatuh
miskin di Puspa Sari. Dengan kesaktiannya Puspa Sari
yang telah lenyap itu diciptakannya kembali menjadi
kerajaan yang lengkap dengan isinya di daratan Tinjau
Maya, yaitu Mercu Indra. Kemudian ia dinobatkan di
sana menggantikan mertuanya.
140
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI Program IPA-IPS
Latihan 7
1. Buatlah kelompok yang terdiri dari 3 – 4
orang!
2. Bandingkanlah bagaimana unsur instrinsik dan
ekstrinsik novel “Kemayoran” dan hikayat “Si
Miskin” di atas!
3. Bandingkanlah bagaimana struktur kebahasaan
novel “Kemayoran” dengan hikayat “Si Miskin”
di atas!
Latihan 8
Pada pembelajaran sebelumnya Anda sudah pernah membuat drama. Dengan
demikian Anda tentu sudah sangat paham dengan unsur-unsur pembangun, bukan?
Meski demikian, berikut ini dipaparkan mengenai uraian tersebut secara singkat,
agar Anda semakin mjemahami kaidah penulisan naskah drama. Pelajarilah
dengan sungguh-sungguh!
Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam menulis drama adalah kaidah
penulisan naskah drama. Misalnya ada peragaan yang disampaikan oleh pelaku
harus ditulis berbeda dengan teks dialog pelaku tersebut.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan naskah drama adalah sebagai
berikut.
1. Struktur dasar sebuah drama terdiri atas tiga bagian: prolog, dialog, dan
epilog.
a. Prolog merupakan pembukaan atau peristiwa pendahuluam dalam sebuah
drama atau sandiwara. Bisa juga, dalam sebuah prolog dikemukakan
para pemain, gambaran seting, dan sebagainya.
1. Jelaskanlah tema, tokoh dan perwatakan, latar,
dan sudut pandang pengarang, dan lain-lain.
dalam hikayat
Si Miskin
! Tulis dalam format
seperti berikut ini.
Analisis Komponen Kesastraan
Hikayat Si Miskin
Komponen yang ditelaah
Hasil/Telaah analisis
Tema
Pelaku dan Perwatakan
Plot dan Kon
fl
ik
Latar
Sudut Pandang Pengarang
Pesan/Amanat
2. Apa kira-kira relevansi tema hikayat tersebut
jika dihubungkan dengan kehidupan saat ini?
3. Ceritakan kembali isi hikayat itu di depan kelas
dengan kata-kata Anda sendiri!
4. Bagaimana kesan Anda setelah membaca
penggalan novel “Kemayoran” dan hikayat
“Si Miskin” tersebut!
5. Sampaikan hasil kerja kelompok Anda kepada
kelompok lainnya dengan jelas!
C. Menulis Drama Berdasarkan Pengalaman
Tujuan Pembelajaran
Pada subbab ini, Anda
menarasikan pengalaman
manusia dalam bentuk
adegan dan latar pada
naskah drama.
Setelah mempelajari
subbab ini, Anda diharap
dapat memerankan drama/
penggalan drama sesuai
dengan karakter tokoh,
menggunakan gerak-gerik,
mimik dan intonasi sesuai
dengan watak tokoh.
141
Bab 10
Kreativitas
b. Dialog merupakan media kiasan yang melibatkan tokoh-tokoh
drama yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak
manusia, problematika yang dihadapi, dan bagaimana manusia dapat
menyelesaikan persoalan hidupnya.
c. Epilog adalah bagian terakhir dari sebuah drama yang berfungsi untuk
menyampaikanintisari cerita atau menafsirkan maksud cerita oleh
seorang aktor pada akhir cerita. Dengan kata lain, epilog merupakan
peristiwa terakhir yang menyalesaikan peristiwa induk.
2. Dalam sebuah dialog itu sendiri, ada tiga elemen yang tidak boleh dilupakan.
Ketiga elemen tersebut adalah tokoh, wawancang, dan kramagung.
a. Tokoh adalah pelaku yang mempuanyai peran yang lebih dibandingkan
pelaku-pelaku lain, sifatnya bisa protagonis atau antagonis.
b. Wawancang adalah dialog atau percakapan yang harus diucapkan oleh
tokoh cerita.
c. Kramagung adalah petunjuk perilaku, tindakan, atau perbuatan yang
harus dilakukan oleh tokoh. Dalam naskah drama, kramgung dituliskan
dalam tanda kurung (biasanya dicetak miring).
Latihan 9
1. Dalam penulisan drama ide merupakan hal
penting. Ide yang kemudian dikembangkan
menjadi dialog-dialog dalam teks drama akan
menentukan awal dan akhirnya drama tersebut.
Tugas Anda pada bagian ini adalah membuat
drama berdasarkan pengalaman manusia.
Dalam hal ini, Anda boleh membuat drama
dengan ide yang berasal dari pengalaman
Anda sendiri ataupun dari pengalaman orang
lain.
2. Tukar drama yang Anda tulis dengan teman
sebangku untuk saling mengomentari drama
yang sudah dibuat masing-masing, terutama
berkaitan dengan pemilihan kata/kalimat, gaya
bahasa, struktur drama (berkaitan dengan kaidah
penulisan naskah drama), dan lain-lain. Anda
juga dapat saling memberikan masukan untuk
perbaikan naskah drama agar lebih baik dan
menarik.
3. Guru Anda akan memberikan penilaian dan
memilih satu atau beberapa drama yang sudah
Anda tulis untuk diperankan oleh beberapa
orang di depan kelas!
Review (Rangkuman)
1. Membaca cerpen bukan hanya sekadar untuk
menghibur atau memberikan kesenangan
(estetis), melainkan kita dapat menggali ajaran
moral dan amanat.
2. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
penulisan naskah drama adalah (1)
struktur
dasar sebuah drama terdiri atas tiga bagian:
prolog, dialog, dan epilog, dan (2) dalam sebuah
dialog itu sendiri, ada tiga elemen yang tidak
boleh dilupakan. Ketiga elemen tersebut adalah
tokoh, wawancang, dan kramagung.
142
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI Program IPA-IPS
A. Pilihlah jawaban yang paling tepat!
1. Pulang. Apakah yang dapat lebih menggelorakan hati dari pada mengalami
pertemuan dengan keluarga kembali? Ibunya sayang, wajahnya yang
bersih dan pandangannya yang menentramkan, rambutnya yang telah
separo putih, matanya yang hitam sejuk itu, apa yang bisa terjadi selama
tujuh tahun ini? Betapa pula wajah ayahnya yang telah tua itu, wajah
yang berkerut-kerut dengan alis kelabu tebal, memayungi matanya yang
kecil, dan telah bersembunyi, jauh ke dalam.
Pulang, Toha Muhtar
Unsur intrinsik yang menonjol dalam penggalan novel di atas?
a. penokohan d. alur
b. setting e. amanat
c. tema
2
No
Aspek
Cerita Pendek
Novel
1
Media
Majalah, surat kabar
Buku
2
Skala Cerita
Pendek
Panjang/luas
3
Penokohan (Utama)
Banyak
Banyak sekali
4Kon
fl
ik
Tunggal
Jamak
5
Laju Cerita
Cepat
Lambat
Pernyataan yang tidak tepat berkaitan dengan perbedaan cerpen dan
novel di atas adalah ....
a. (1)
d. (4)
b. (2)
e. (5)
c. (3)
3. ”Memang, Tini! Kemudian disambutnya dengan sungguh-sungguh”.
Kalau di mata kami, tidak baik, kalau seorang isteri banyak-banyak
ke luar malam, tidak ditemani suaminya! Matanya memandang muka
Tini dengan tajam. Tini melompat berdiri sebagai digigit kalajengking.
“Bukankah lakiku juga pergi sendirian/mengapa aku tidak boleh. Apakah
bedanya?”
“Belenggu”, Armijn Pane
Refleksi Bagi Peserta Didik
Pada bab ini Anda belajar membaca cerita pendek,
membandingkan penggalan hikayat dengan
penggalan novel, dan menulis drama berdasarkan
pengalaman.
Apakah Anda sudah mampu membaca cerita pendek?
Apakah Anda sudah mampu membandingkan
penggalan hikayat dengan penggalan novel? Apakah
Anda sudah mampu menulis drama berdasarkan
pengalaman?
E
valuasi
A
khir
Bab 10
143
Bab 10
Kreativitas
Permasalahan yang dihadapi tokoh dalam penggalan novel di atas adalah
....
a. seorang isteri menuntut persamaan hak
b. pasangan suami isteri yang sama-sama egois
c. perbedaan adat dan budaya
d. tuntutan istri terhadap suaminya
e. isteri yang sering keluar malam
4. ”Aku tak berdosa, tak ada yang harus aku akui kata, pikir Sanip.
Aku tak punya dosa yang mesti aku akui, kata Talib dalam hatinya. Aku
tak punya dosa, kata Sutan pada dirinya.
Buyung menyuruh hatinya dan pikirannya diam, jangan mengingatkannya
pada dosa-dosanya.
Pak Haji juga demikian.
(
Harimau-harimau, Muchtar Lubis
)
Penggambaran watak tokoh Sanip, Talib, Sutan, Buyung, dan Pak Haji
dalam kutipan novel tersebut digambarkan pengarang melalui ....
a. penjelasan langsung (tertulis)
b. dialog antartokoh
c. tanggapan tokoh lain terhadap tokoh utama.
d. pikiran-pikiran dala hati tokoh
e. lingkungan di sekitar tokoh
B. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan tepat dan
jelas!
1. Adakah persamaan dan perbedaan antara hikayat dan cerita masa kini?
Jelaskan aspek-aspeknya yang berbeda dan yang sama itu!
2. Uraikanlah asal mula hikayat dan buatkan synopsis hikayat lain yang
Anda baca!
3. Jelaskanlah perbedaan bahasa hikayat dengan bahasa masa kini!
C. Buatlah drama berdasarkan pengalaman hidup berikut ini!
Siapa sih, yang tidak ingin bisa menyetir mobil? Ke mana-mana bisa duduk
tanpa merasakan hawa Surabaya yang panas. Yang penting, kulit tidak hitam,
dandanan tida rusak, plus bisa rame-rame jalan sama teman. Karena itu, saya
memutuskan ikut kursus menyetir mobil sejak kelas satu SMA. Nah, saya
juga punya cerita seru saat curi-curi menyetir mobil. Saya menabrak taman
bunga kepala SMA saya sendiri.
Kejadiannya kira-kira tiga tahun yang lalu (tepat kelas 2 SMA). Kebetulan
saya libur karena ada Ujian Nasional di sekolah. Siang itu, rumah sedang sepi
karena orang tua kerja. Saya mengajak teman-teman belajar menyetir mobil.
Hanya putar-putar kompleks perumahan saja. Maksudnya untuk melancarkan
kemampuan menyetirku saja. Selama ini, bapak jarang mengijinkan saya
menyetir mobil. Jadi, harus curi-curi agar bisa belajar menyetir mobil.
Mungkin itu juga bentuk pemberontakan. “Sudah besar masih saaja tidak
dipercaya,” pikir saya waktu itu.
144
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI Program IPA-IPS
Berangkatnya oke-oke aja. “Wah, lumayan juga nih, nyetirku!” pikir saya.
Namun, kelancaran itu tak terjadi saat pulang ke rumah. Secara tak sengaja,
saya menabrak taman milik tetangga, yang kebetulan adalah kepala sekolah
saya sendiri. Rumahnya tepat di belokan masuk ke gang rumah. Saat saya
akan membelok, ada mobil sedan bagus berhenti di depan gang. Saya pun
terpesona dengan laki-laki yang duduk di belakang stir. “Wow, cakep sekali!”
(Namanya juga perempuan). Rasanya sia-sia “pandangan” bagus itu kalau
tak dinikmati. Namun, saya jadi tidak konsentrasi menyetirnya. Gang rumah
saya memang tak bagitu lebar, jadi terasa makin sempit. Saya pun makin
kesulitan dalam memposisikan mobil. Saya panik dan sedikit grogi. Sewaktu
melakukan initial contact dengan ujung taman, saya sebenarnya sudah
merasakan “tabrakan”. Tapi, karena feeling saya memang tidak terlalu jitu,
jadinya saya malah menginjak gas. Apa yang terjadi? Mobilku “mencium
pagar”, sekaligus nangkring di atas pek! Aduh, saya takut sekali!
Teman saya juga ikut bingung. Terus terang teman-teman saya itu adalah
anak sang kepala sekolah. Saya yang sudah merasa bersalah, jadi tambah
bingung lagi. Suara benturan mobil ke pagar yang keras membuat ibu teman
saya (istri kepsek) keluar. Ibu tersebut menanyakan apa yang terjadi. Saya
semakin ketakutan. “Sudah tidak izin membawa mobil, menabrak taman
tetangga pula,” pikir saya. Dengan sedikit deg-degan saya turun dari mobil
dan minta maaf pada ibu tersebut. Untungnya beliau sangat sabar! “Tidak
apa-apa, masih belajar menyetir,” ujarnya. Rasanya plong!
Teman saya membantu menurunkan mobil. Rasanya bersalah sekali melihat
bunga-bunga di taman menjadi berantakan. Saya takut, kepala sekolah
saya yang memang suka bertaman mengetahui dan marah. Belum lagi
membayangkan kemarahan dan sanksi yang harus saya terima dari orang
tua. Kalau bisa memutar jarum jam, lebih baik saya tadi tidak membawa
mobil (mungkin kualat karena tidak ijin, ya!)
Untungnya, Bu Kepsek tidak melapor ke suaminya. Orang tua juga tidak
diberi tahu tentang kejadian itu.
Mobil saya sendiri tergores dan penyok. Tapi, dengan bantuan teman, saya
mampu mendempul dan memolesnya, tanpa ketahuan orang tua! Lagipula
sebelumnya sudah penuh goresan!
Hebatnya, bapak saya dengan sang kepsek hingga sekarang masih belum
tahu tentang insiden tersebut! Ibu saya tahu sih, tapi dia masih baik dan
tidak melapor ke bapak dan sang kepsek (saya melaporkannya kepada ibu
setelah tiga bulan kemudian).
Nah, mungkin hari ini beliau-beliau tersebut tahu atas apa yang sebenarnya
terjadi tiga tahun lalu, setelah membaca sharing saya di deteksi. Buat bapak-
bapak sekalian, maafkan dong! Lagipula, itu sudah lama. Mobilnya juga
sudah dijual kok ....
145
Bab 10
Kreativitas
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar. 1993.
Dari Cicalengka Sampai Chicago: Bunga Rampai Pendidikan Bahasa
.
Bandung: Angkasa.
Arikunto, S. 1983.
Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik
. Jakarta: Bina Aksara.
Badudu, J.S. 19925.
Cakrawala Bahasa Indonesia
II. Jakarta: Gramedia.
Baried, St. Baroroh, dkk. 1985.
Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia
. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Booth, W.C., Colomb, GG., William, J.M. 1995.
The Craft of Research. Chicago
:
The University of Chicago
Press
.
Ciptaloka Caraka. 2002.
Teknik Mengarang
. Yogyakarta: Kanisius.
Depdikbud. 1988.
Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia
. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdikbud. 2002.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua
. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdikbud, t.t.
Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah
.
Depdiknas. 2006.
Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Sekolah Menengah Atas
. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Firdaus, Endang. 2001.
Cerita Rakyat dari Banten
. Jakarta: Grasindo.
Halim, A. 1976.
“Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia”, Politik Bahasa Nasional 2
. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Halim,A. 1981.
“Bahasa Indonesia Baku”, Pertemuan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Rangka
Peringatan Sumpah Pemuda ke-53
. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Harian Umum
Pikiran Rakyat
, edisi 11 Desember 2006.
Harian Umum
Jawa Pos, edisi
2 Juni 2000.
Harian Umum
Pikiran Rakyat
, edisi 11 Desember 2006
,
3 Juni 2007, 5 Juli 2007, 9 September 2007
Harian Umum
Kompas
, edisi 30 Juli 2007
Hoed, B.H. 2000.
“Kedudukan Bahasa Indonesia dan Tantangan Abad yangAkan Datang”
, Jurnal Linguistik
Indonesia. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.
Johannes, H. 1978.
“Gaya Bahasa Keilmuan”
, Kertas Kerja Kongres Bahasa Indonesia III. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Keraf, G. (1997).
Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa
. Ende Flores: Penerbit Nusa Indah.
Kosasih, E. dan Ice Sutari. 2003.
Surat Menyurat dan Menulis Surat Dinas dengan Benar
. Bandung: Yrama
Widya.
Kurniawan, K. 2004.
Bahasa Indonesia Ilmiah untuk Perguruan Tinggi
. Bandung: FPBS UPI.
Majalah Tiara Bahasa
, Vol. 1 No. 1, September 2002.
Mihardja, Achdiat K. 1997.
Si Kabayan Manusia Lucu
. Jakarta: Gramedia.
Moeliono, A. 1993.
“Bahasa yang Efektif dan E
fi
sien”
,
Makalah Seminar Peningkatan Mutu Pengajaran
Bahasa Indonesia Ragam Ipteks di Perguruan Tinggi
, 2 Oktober 1993. Bandung: ITB.
Morsey, R.J. 1976.
Improving English Instructio
n. Chicago:Rand McNally College Publishing Company.
Murray, Donald M. 1980.
“Writing as Process” ini Eight Approaches to Teaching Composition
. Illinois:
National Council of Teachers of English
, h. 3 – 20.
Na
fi
ah, A.H.
1981.
Anda Ingin Jadi Pengarang
. Surabaya: Usaha Nasional.
Nunan, D. 1991.
Language Teaching Methodology
,
A Textbook foor Teacher
. Sydney: Prentice Hall
International (UK) Ltd.
146
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI Program IPA-IPS
Nurhadi. 1991.
Membaca Cepat dan Efektif
. Bandung: Penerbit Sinar Baru.
Nurhadi. 1991.
Pembinaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Ilmu Pengetahuan
. Malang: IKIP.
Prijanto, Saksono. (Peny). 2003.
Model Penderitaan Tokoh Perempuan dalam Novel Populer
. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Prijanti, Saksono. (Peny). 2003.
Citra Wanita dalam Hikayat Panji Melayu
. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
Riantiarno, N. 1995. Semar Gugat. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya.
Rifai, M.A. 1997.
Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan Karya Ilmiah Indonesia
.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sarwadi dan Soeparno. 1994.
Buku Pegangan Kuliah Pendidikan Bahasa Indonesia
. Yogyakarta: UPP IKIP
Yogyakarta.
Sugono, Dendy (Peny. Utama). 2003.
Buku Praktis Bahasa Indonesia I
. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
Sugono, Dendy (Peny. Utama). 2003.
Buku Praktis Bahasa Indonesia 2
. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
Sularto, B. 1985. Lima Drama. Jakarta: Gunung Agung.
Sumardjono, Maria S.W. 1997.
Pedoman Pemnuiatan Usulan Penelitian Sebuah Panduan Dasar
. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Supriadi, D. 1997.
Isu dan Agenda Pendidikan Tinggi di Indonesia
. Jakarta: Rosda Jayaputra.
Tambajong, J. 1981.
Dasar-Dasar Dramaturgi
. Bandung: Pustaka Prima.
Tarigan, H.G 1983.
Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa
. Bandung: Angkasa.
Tasai, S. Amran. (Peny.). 2003.
Cerita Rakyat dan Objek Pariwisata di Indonesia
:
Teks dan Analisis Latar
:
Jakarta: pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Widodo. 1997.
Teknik Wartawan Menulis Berita di Surat Kabar dan Majalah
. Surabaya: Indah.
Wilkins, D.A. 1976.
Second Language Learning and Teaching
. London: Edward Arnold.
Wiryosoedarmo, S. 1991.
HimpunanRingkasan dan Tinjauan Roman, Drama, Novel
. Surabaya: Sinar
Wijaya.
Yusra, Abrar. 1994.
Autobiogra
fi
A.A. Navis, Satiris & Suara Kritis dari Daerah
. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Daftar Pustaka
147
Bab 10
Kreativitas
Glosarium
Glosrium
Abreviasi
: pemendekan bentuk sebagai pengganti bentuk yang lengkap; bentuk singkatan tertulis
sebagai pengganti kata atau frasa
Aerodinamika : ilmu yang berhubungan dengan gerakan udara dan gas lai
A
fi
ks
: bentuk terikat yang apabila ditambahkan kata dasar atau bentuk dasar akan mengubah
makna gramatikal
Argumentasi
: alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan
Artikel
: karya tulis lengkap, misalnya laporan berita atau esai di surat kabar.
Artikulator
: bagian alat ucap yang dapat bergerak, misalnya bagian lidah dan bibir bawah
Debat
: pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan
untuk mempertahankan pendapat masing-masing
Deduktif
: bersifat deduksi (penarikan kesimpulan dari keadaan yang umum; penyimpulan dari
yang umum ke yang khusus)
Deskripsi
: pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terperinci
Diskusi
: pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu permasalahan
Entitas
: satuan yang berwujud
Esai
: karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang
pribadi penulisnya
Euforia
: perasaan nyaman atau perasaan gembira yang berlebihan
Fakta
: hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan, sesuatu yang benar-benar ada
Fonem
: satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukan kontras makna
Hikayat
: karya sastra lama Melayu berbentuk prosa yang berisi cerita, undang-undang, dan
silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biogra
fi
s, atau gabungan sifat-sifat itu,
dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat juang, atau sekadar untuk meramaikan
pesta
Induktif
: bersifat secara induksi (penarikan kesimpulan berdasarkan keadaan yang khusus untuk
untuk diperlakukan secara umum)
In
fi
ks
: morfem yang disisipkan di tengah kata
Kon
fi
ks : a
fi
ks tunggal yang terjadi dari dua unsur yang terpisah
Kontemplatif
: bersifat membangkitkan kontemplasi
Mentor : pembimbing
Moderator
: orang yang bertindak sebagai penengah
Morfologis
: cabang linguistik tentang morfem dan kombinasinya
Narasi
: pengisahan suatu cerita atau kejadian
Opini
: pendapat, pemikiran, dan pendirian
Ozon
: lapisan udara yang terdapat di atmosfer yang berasal dari oksigen
Preposisi
: kata yang biasa terdapat di depan nomina
Reduksi
: pengurangan, pemotongan
Replektif
: gerakan badan di luar kemauan
Respirasi
: kegiatan memasukkan dan mengeluarkan udara ke dulu dan dari paru-paru
Simultan
: terjadi atau berlaku pada waktu yang bersamaan; serentak
Su
fi
ks : a
fi
ks yang ditambahkan pada bagian belakang kata dasar
Urgen
: mendesak sekali pelaksanaannya
148
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI Program IPA-IPS
Indeks
Indeks
A
Artikel 4-6, 13, 64, 65, 66
B
Biogra
fi
108, 109
C
Cerita pendek 117, 118, 121, 131, 133, 134, 137
D
Deduktif 45, 49
Diskusi 83, 84, 91, 92, 93, 113
Drama 39-45, 51, 52, 56, 57, 67, 71, 75, 88-89, 122, 123, 140, 141
F
Fakta 60, 81, 95, 96
H
Hikayat 6-8, 134, 138, 139
I
Induktif 45, 49
L
Laporan 62, 102, 103, 113
N
Notulen 110-113
Novel 21-14, 78, 79-80, 135, 137
O
Opini 60, 94, 95, 96
P
Pidato 1, 2, 4, 13
Proposal 8-13
R
Resensi 76, 78, 80, 81
S
Surat dagang 24, 33
Surat kuasa 24, 33-35
Surat perjanjian 33, 34
T
Tokoh 8, 17, 40, 41, 42, 45, 75, 88, 118, 121, 133, 134
W
Watak 40, 42, 45, 118, 121
Wawancara 15-20